Saya sebetulnya cape juga suka share-share gitu soal UX, jadi admin social media bahkan untuk 2 nama. Cape fisik dan mental hehe…jadi ya udahlah ya memang niatnya kalo lagi mau aja. walaupun kalau sharenya format Story sih lebih mudah dan spontan ya hehe….
Secara mental, ya jelas bidang UX itu traumatik setidaknya buat saya. Sebuah bidang baru trendnya yang banyak sekali peminatnya (yang padahal saking tuanya saya memulai UX karena mengalir aja dari desain grafis), perkembangannya cepat, namun lingkungannya cukup toxic terutama di online, memang tidak mendominasi ya, tapi kan segelintir orang kalau followers banyak bisa jadi kesapu semua. Saya sampai bertanya-tanya apakah bidang lain juga gini? memang ngga semua, tapi sekalinya ada, kalau pelaku UX dan UX wannabe itu masih sangat muda-muda kan bahaya, pak. Mereka belum ngeh mana yang benar dan salah secara sikap. Sementara yang punya power memanfaatkan itu dengan tidak bijak. Apakah bidang kedokteran, hukum, arsitektur seperti itu juga? setidaknya bidang yang paling dekat lainnya dengan saya yaitu DKV atau desain grafis, tampaknya tidak seburuk itu.
Secara teknis di pekerjaan baru saya juga sudah pasti lebih ada beban dan kesibukan daripada pekerjaan sebelumnya walau sama-sama remote dan fleksibel hours. Sama-sama tidak pake time tracking. Sama-sama perusahaan team kecil walau beda tipe. Yang sebelumnya bukan startup jadi tidak ada goals kuat atau growing perusahaannya, karena kan udah lama banget lho dari 2013, tapi ya bukan komersil. Sedangkan pekerjaan baru ini startup apalagi dengan investor gini pasti growing termasuk dari jumlah karyawan jika bertahan. Mana dengan posisi lead itu salah satu job desk saya tertulis; growing design team dan hiring design team. Jujur aja belum pernah. Mau dimana kaya gini? Bandung? wkwkw…big tech? haduh, keluguan saya yang sebelumnya bekerja di kantor-kantor kecil di Bandung, membuat saya salah langkah, dengan ngga paham apa itu office politik ketika kerja di big tech. Lagipula ketika mulai paham, saya overwhelmed karena sudah berkeluarga. Sudahlah, itu mah aral.
Intinya saya suka dan hobi sharing, that’s why suka mentoring juga (konon kalau doyan beginian cocok untuk ke arah lead daripada individual contributor yang expert banget), ya udalaya baru juga mulai. Iya jadi intinya suka sharing tapi di sisi lain kadang eneg. Mungkin kebanyakan? ah, tapi kan ngga tiap hari, walau emang sih, karena niatnya bukan buat jualan banget akunnya, jadi kadang dipikirin banget isinya. Bukan kaya kejar setoran juga. Jadi ketika ngga ada waktu dan ide, ya udah ngga usah aja gitu. Saya ada keluarga, saya juga ibu, bukan bapak, saya juga ada kerjaan, dan juga keperluan lainnya.
Sharing itu bikin kita senang dan bisa menikmati hasil sharing tsb, tapi di sisi lain secara teknis itu lebih berguna buat orang lain sih, walau justru di situ nikmatnya. Tapi kalau saya udah mulai burnout atau sedang sensitif lebih baik saya utamakan kebutuhan diri sendiri. Waktu luang enaknya lagi dipake tiduran, makan, ngopi, ya udah itu aja yang dijalanin, ngga usah mikirin ngisi konten. Btw punya kerjaan baru dengan pengalaman baru bikin saya anxiety karena tercampur office trauma, nyebelin memang sih, ngerusak hidup orang, kalau orang lain hanya imposter syndrom menghadapi kerjaan baru dan jadi leader baru pertama kali, kalau saya campur office trauma, but di sisi lain dengan begitu saya ngga mau jadi leader yang menyakiti atau arogan, segala-gala konteksnya me, me, me…amit-amit.